MASALAH KEMISKINAN NELAYAN

Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu. 
Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.  Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.  Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan.  Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut.  Berdasarkan pada sejumlah variables yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada 9 permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin.
  1. Banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih). Overfishing jelas mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus, maka bukan hanya pendapatan nelayan yang bakal kian menurun, tetapi stok ikan pun bisa punah 
  2. Pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.
  3. Sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices).  Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah.  Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar.  Selain itu, banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es berarti menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan atau hasil tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum mendapatkan ikan, maka rugi besar.
  4. Hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis.  Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan.  Hampir semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) yang pada umumnya sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat-labuh yang mahal (tidak terjangkau).
  5. Pada masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.  Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan.  Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.
  6. Pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis.  Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir.  Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir.  Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.
  7. Kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama.  Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik.  Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.
  8. Harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban.  Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.
  9. Sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK.  Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya.  Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin
Faktor yang boleh jadi merupakan penyebab dominan dari kemiskinan nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni kebijakan dan program pemerintah yang tidak kondusif bagi kemajuan dan kesejahteraan nelayan.  Mahal dan susah didapatkannya BBM, alat tangkap, beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi nelayan, terutama nelayan di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil terpencil, merupakan bukti nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada nelayan.  Demikian juga halnya dengan sumber modal.  Sampai saat ini nelayan, terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan.  Prasarana pendaratan ikan atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi nelayan.  Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara tuntas diatasi oleh pemerintah.
Faktor yang boleh jadi merupakan penyebab dominan dari kemiskinan nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni kebijakan dan program pemerintah yang tidak kondusif bagi kemajuan dan kesejahteraan nelayan.  Mahal dan susah didapatkannya BBM, alat tangkap, beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi nelayan, terutama nelayan di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil terpencil, merupakan bukti nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada nelayan.  Demikian juga halnya dengan sumber modal.  Sampai saat ini nelayan, terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan.  Prasarana pendaratan ikan atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi nelayan.  Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara tuntas diatasi oleh pemerintah.
Berbagai upaya dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Celakanya, upaya mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu justru sering menjebak mereka dalam kemiskinan yang lebih dalam. Ini terjadi karena tidak adanya akses terhadap lembaga keuangan, sehingga kebutuhan dana hanya bisa diperoleh melalui para pemilik modal, yang tidak lain adalah para tengkulak. Akibatnya mereka tidak memiliki kebebasan lagi menjual ikan kepada tengkulak yang diinginkan, sehingga hasil tangkapannya dibeli lebih rendah. Adanya kondisi seperti itu, tidak ada cara lain untuk mengentaskan kemiskinan nelayan kecuali dengan uluran tangan dari pihak luar. Untuk itu, langkah utama yang perlu dilakukan adalah mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak, sehingga nelayan dan pedagang ikan berada dalam posisi yang seimbang. Karena itu, keberadaan suatu lembaga yang mampu menggantikan peran yang selama ini dilakukan oleh tengkulak sangat diperlukan. Lembaga ini juga berfungsi menyalurkan pinjaman untuk peningkatan teknologi kenelayanan. Selain itu, untuk meningkatkan pendapatan buruh nelayan, maka perbaikan sistem bagi hasil perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan perangkat aturan yang mendukungnya, yang bisa lebih menjamin terwujudnya keadilan dalam sistem bagi hasil. Secara singkat terdapat dalam skema dibawah ini :

Referensi :
Arumbiang, Kasihono. 2008.  Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa Menggunakan Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima Rimbun
Imron, Masyhury, 2003. KEMISKINAN DALAM MASYARAKAT NELAYAN. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 5 No. 1 Tahun 2003 diakses melalui http://jmb-lipi.or.id/index.php/jmb/article/view/259/237 pada tanggal 30 Jan 2017. 

Ditulis oleh :
ADE YUNAIFAH A, SE (Widyaiswara BPPP Tegal)
Sumber :
http://www.bppp-tegal.com/web/index.php/2017-08-26-04-36-53/manajemen/551-masalah-kemiskinan-nelayan

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-jenis Alat Tangkap Ikan Menurut Klasifikasi FAO

Cara Panen dan Penanganan Pascapanen Ikan Mas

Cara Budidaya Ikan Papuyu