eFishery: pemberi pakan ikan otomatis buatan Indonesia diperkenalkan ke Asia
Teknologi pemberi pakan ikan otomatis buatan Indonesia, eFishery, akan diterapkan melalui proyek percontohan di Thailand dan Bangladesh tahun ini.
Proyek kerja sama antara perusahaan perintis akuakultur Cybreed, selaku pengembang eFishery, dengan Winrock International, USAID, dan Universitas Kasetsart Thailand itu bertujuan mencoba penerapan teknologi eFishery di kedua negara tersebut.
EFishery menggabungkan pemberian pakan otomatis dengan algoritma dan sensor untuk meningkatkan efisiensi pakan dalam bisnis perikanan air tawar.
- Sikap 'antielite' Susi Pudjiastuti yang menarik perhatian publik
- Menteri Susi akui perikanan sering berisi perbudakan
- Kerusakan terumbu karang di Raja Ampat lebih besar dari yang 1.600m2?
Meskipun proyeknya masih bersifat prakomersial, ini langkah awal untuk ekspansi ke negara lain, kata salah satu pendiri perusahaan yang berbasis di Bandung itu, Gibran Huzaefah.
"(Proyek percontohan) itu supaya kita bisa punya bukti yang kuat untuk bisa membangun model kerja sama dengan mitra lokal, dan sekaligus mencari mitra lokal untuk ekspansi bisnis kita ke negara lain dalam beberapa tahun ke depan," ungkapnya kepada BBC Indonesia.
Untuk saat ini, Gibran dan kawan-kawan di Cybreed tengah memusatkan perhatian pada pengembangan dan perkenalan produknya di Indonesia.
Terjadwal dan sesuai takaran
Ide di balik eFishery ialah pemberian pakan secara terjadwal dan sesuai takaran, kata Gibran. Dalam usaha budidaya ikan, biaya yang dikeluarkan pemilik kolam untuk pakan dapat mencakup 60-70% total biaya produksi. Meski demikian, pemberian pakan dengan cara tradisional, yakni menggunakan tangan atau hand-feeding, dinilainya tidak efisien.
"Saat hand-feeding pemberian pakannya itu langsung dilempar dalam jumlah yang banyak. Misalnya satu ember langsung dilempar ke kolam. Saat pakan ini terendam dalam air, beberapa nutrisi bisa hilang hingga 98 persen dalam waktu satu jam. Jadi pakan yang dikasih dimakan oleh ikannya, tapi nutrisinya sudah enggak ada," jelasnya.
Dengan pemberian pakan yang terjadwal dan dengan 'dosis,' Gibran mengatakan eFishery telah terbukti dapat menurunkan jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram daging -disebut Food Convertion Ratio (FCR)-hingga 24%. Dengan kata lain, penggunaan pakan menjadi lebih efisien.
Terhubung dengan internet
Alat pemberi pakan otomatis, atau feeder, lumrah digunakan dalam budi daya ikan dan akuakultur pada umumnya. Namun inovasi eFishery terletak pada keterhubungannya dengan jaringan internet.
Lewat aplikasi di ponsel Android, pengguna dapat mengatur frekuensi dan jadwal pemberian pakan serta takarannya. Pemilik kolam juga dapat mengunggah jumlah pakan yang digunakan ke server internet untuk referensi di masa depan.
Dalam aplikasi terdapat pilihan pola pemberian pakan berbasis algoritma untuk empat komoditas budidaya: ikan nila, mas, lele, serta udang. Ini disebut feeding program.
Gibran menjelaskan, "Dari masing-masing spesies ini kita punya feeding rate, yaitu berapa persen pakan yang dibutuhkan dibanding total biomassa mereka. Dan persentase ini akan berubah dari tahap awal saat mereka masih kecil sampai saat mereka mau panen.
"Jadi misalnya, saat masih kecil empat persen dari total biomassa, dan saat panen itu dua persen dari total biomassa, dan perubahannya seperti apa. Kita juga memprediksi tingkat kematian mereka bagaimana... dari sini kita bangun algoritmanya."
Satu fitur lagi, yang sedang dalam tahap pengembangan, yaitu sensor "pendeteksi kekenyangan ikan" berdasarkan riak air dalam kolam. Teknologi ini pada dasarnya ialah akselerometer. Asumsinya, lapar atau kenyangnya bisa dideteksi melalui perilaku, kata Gibran.
"Kita melihatnya saat ikan bergerak agresif berarti mereka masih lapar, dan saat ikan kurang agresif berarti dia sudah kenyang. Dari situ kita bisa menentukan kapan harus menyetop pemberian pakan."
Data bagi petani
Dengan fitur pengunggahan data pakan ke server internet, Gibran berharap dapat menyediakan informasi berharga bagi para petani ikan. Ia mengungkapkan bahwa perusahaannya ingin menangkap data dari petani yang tadinya tidak tersedia kemudian menghubungkannya dengan variabel lain seperti data cuaca dan kualitas air.
"Sehingga kita bisa memprediksi apakah (praktik yang dilakukan petani) optimal atau tidak," tuturnya.
Ia menambahkan, "Dan kami ingin memberikan informasi berbasis data itu ke petani dan stakeholders lain, seperti produsen pakan dan pembeli ikan. Tujuannya transparansi, traceability... Jadi saat mereka beli ikan, mereka bisa tahu apakah ikan ini diberi makan limbah atau pakan yang bagus, ikan ini produktivitasnya bagus atau tidak."
Namun tampaknya semua itu masih jauh di masa depan. Saat ini, Gibran dan kawan-kawan di Cybreed masih berupaya mengajak sebanyak mungkin petani menggunakan eFishery.
Gibran mengatakan, hingga saat ini eFishery telah digunakan lebih dari 300 pembudidaya di area Minapolitan utama di Indonesia, seperti Jawa Barat dan Lampung. Pemilik kolam perlu merogoh kocek cukup dalam untuk memiliki alat ini, karena satu unitnya dijual seharga Rp7,8 juta.
Demi mengurangi hambatan para pemilik kolam untuk mengadopsi teknologi ini, Cybreed memperkenalkan skema sewa alat seharga Rp300.000 per bulan. Dan memang mayoritas petani memilih skema ini, kata Gibran.
Menggantikan manusia
Prakarsa teknologi ini disambut baik Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO), Herwindo Suwondo.
Menurut Herwindo, urusan pakan kerap memberatkan para pembudidaya dengan harganya yang mahal. Itu karena sekitar 80% bahan baku pakan seperti tepung jagung, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang, artemia, dan minyak ikan diperoleh melalui impor.
Karena itu menurut Herwindo jika pakan yang mencakup sebagian biaya produksi itu diberikan secara efisien, para pembudidaya dapat berhemat. "Dan harga (produk) dia akan lebih bisa bersaing di luar negeri," ia menambahkan.
Herwindo juga menilai harga sewa Rp300.000 per bulan tidak akan memberatkan pemilik kolam. Namun ia mengatakan tidak tahu apakah para penjaga tambak rela pekerjaannya digantikan eFishery.
"Saya kira itu bagus... cuma masalahnya, tiap-tiap tambak itu kan biasanya ada yang jaga. Dan kasih makan itu kan pekerjaan yang jaga. Apakah mereka mau digantikan alat itu... karena meskipun beda angkanya 300-400 ribu, itu kan uang juga," katanya.
Gibran selaku penggagas eFishery tidak memungkiri bahwa alatnya dapat mengeliminasi lowongan kerja bagi manusia.
Namun ia berdalih, "Kondisi saat ini adalah mencari orang yang mau bekerja di tambak, apalagi yang bagus dan jujur itu susah. Jadi memang suplai pekerja tambak ini rendah sekali, terutama yang berkualitas ya... dan demand-nya tinggi, dan akan terus meningkat. Kita melihatnya justru kita mau menyelesaikan masalah ini.
"Satu lagi, manusia ini terbatas, enggak bisa disuruh ngasih makan 12 kali atau 20 kali sehari. Atau manusia susah untuk disuruh kasih makan jam 2 malam, jam 3 malam... sementara beberapa komoditas ikan itu nokturnal. Nah dengan alat kita ini bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa manusia lakukan," tandasnya.
Sumber :
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-39362374
Comments
Post a Comment