Budidaya Lele, Potensi Primadona Ekspor Indonesia Selanjutnya

Indonesia harus bisa memanfaatkan tren permintaan ikan konsumsi yang terus naik di pasar dunia sebagai peluang bisnis untuk sektor perikanan dan kelautan. Selain dari sektor perikanan tangkap, Indonesia harus memaksimalkan perikanan budidaya sebagai peluang tersebut. Terlebih, dari sektor tersebut, saat ini sedang digenjot produksi lele dengan prinsip berkelanjutan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, lembaga pangan dunia (FAO) mencatat produksi ikan global terus meningkat dari waktu ke waktu, bahkan pertumbuhan kebutuhan ikan global justru terus tumbuh hingga melebihi populasi penduduk di dunia.

Bagi Slamet, fakta di atas menjadi peluang emas bagi sektor perikanan budidaya nasional untuk mendorong peningkatan produksi lele secara nasional. Karena diprediksi kebutuhan ikan global pada masa mendatang tidak lagi bisa bergantung pada produksi perikanan tangkap.
“Diprediksi, nantinya akan sangat bergantung pada (perikanan) budidaya. Ini peluang bagi pelaku usaha lele untuk menyuplai kebutuhannya termasuk untuk kepentingan ekspor, yang saat ini mulai terbuka lebar, utamanya ke Uni Eropa dan Timur Tengah,” jelasnya pekan lalu di Jakarta.


Lele di Indonesia berpeluang besar untuk diekspor ke luar negeri asalkan budidayanya berkelanjutan dan bersertifikasi sesuai pasar ekspor. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia


Mengingat besarnya peluang tersebut, Slamet mendorong strategi pengembangan industri budidaya lele berkelanjutan. Tujuannya sudah jelas, yakni untuk menggenjot produksi lele secara nasional dan memenuhi kebutuhan konsumsi ikan lele dan juga untuk memasok permintaan lele dari mancanegara. Menurut dia, itu akan menjadi peluang ekspor yang sangat bagus bagi budidaya lele di Indonesia.
Agar produksi lele nasional bisa digenjot, Slamet menyebutkan tiga strategi utama yang harus dijalankan oleh para pembudidaya lele di Indonesia. Ketiga strategi tersebut, tak hanya bagus untuk peningkatan produksi lele, namun juga bisa mengembangkan industri lele dengan mengutamakan prinsip berkelanjutan.
Strategi pertama, adalah mengembangkan skala usaha budidaya menjadi sebuah industri yang berbasis teknologi berkelanjutan. Strategi tersebut, harus didorong secara holistik melalui pengembangan industri perbenihan, sistem produksi pembesaran, pengembangan input produksi lebih efisien, pakan mandiri, dan industri pengolahan ikan.
“Untuk mendorong industrialisasi berbasis teknologi berkelanjutan, saat ini sudah bisa dilakukan. Apalagi, inovasi teknologi budidaya juga telah berkembang sangat progresif,” jelasnya.


Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia


Adopsi Teknologi
Slamet mencontohkan, untuk pengembangan industri perbenihan, saat ini sudah ada teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) untuk komoditas lele. Teknologi ini sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas hingga 100 kali lipat dibandingkan dengan metode konvensional. Juga, ada manfaat yang tidak bisa didapat dengan cara konvensional.
“Selain ramah lingkunan, teknologi RAS juga lebih efisien dalam pemanfaatan air dan lahan,” tuturnya.
Pentingnya mendapatkaan manfaat berlipat dari penggunaan teknologi masa kini, menurut Slamet, karena industrialisasi perbenihan saat ini menjadi bagian penting tak terpisahkan dari produksi perikanan budidaya. Hal itu, karena benih bisa menentukan kualitas produksi lele di tingkatan tertentu. Kemudian juga, dengan RAS, pemanfaatan benih bisa berlangsung dengan tetap mengedepankan prinsip berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Selain teknologi RAS, Slamet menyebutkan, teknologi lain yang juga tak kalah bagus dipakai untuk produksi lele, adalah bioflok. Teknologi tersebut, sudah terbukti juga mampu meningkatkan priduktivitas budidaya, khususnya lele. Dengan bioflok, citra lele sebagai produk biasa, terangkat dan bisa diterima oleh masyarakat.
Teknologi berikutnya adalah ultrafine micro bubble generator yang patennya dipegang oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Untuk mengadopsi teknologi tersebut, KKP sudah bekerja sama dengan LIPI.
“Teknologi ini juga mampu meningkatkan kelulushidupan dan produktivitas secara signifikan dan bisa efektif juga diterapkan pada budidaya lele,” terang Slamet.
Strategi berikutnya yang harus dijalankan oleh para pembudidaya, menurut Slamet, adalah peningkatan daya saing produk. Strategi tersebut wajib diterapkan, karena produk lele di masa mendatang akan berorientasi pada ekspor dan itu menuntut peningkatan daya saing produk. Cara paling ampuh untuk mencapai tujuan tersebut, adalh dengan meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan.
Dengan pertimbangan tersebut, Slamet menilai, penerapan standardisasi teknologi dan sertifikasi cara budidaya ikan yang baik (CBIB) akan terus didorong dilaksanakan di tingkat pembudidaya. Jika itu terjadi, maka citra ikan lele di mata konsumen akan semakin meningkat lagi. Pada akhirnya, itu akan mendorong terciptanya ekspor lele ke negara lain.
“Apalagi negara negara tujuan ekspor pasti menerapkan persyaratan mutu yang rigid. Jadi kita harus siap sejak dini,” tegasnya.
Strategi penting lainya, atau strategi ketiga yang harus dijalankan oleh para pembudidaya, menurut Slamet, adalah mendorong terciptanya efisiensi produk. Strategi itu, terutama untuk menciptakan bagaimana proses produksi bisa lebih efisien dan simpel dengan tetap mengutamakan kualitas mutu dari setiap produk.

Syamsul Mansur, pembudidaya ikan di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulsel, mulai mencoba budidaya ikan lele metode bioflok ini di pekarangan rumah. Kelebihannya karena tidak meninggalkan bau seperti halnya budidaya lele secara konvensional. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia


Efisiensi Usaha
Slamet kemudian mencontohkan, salah satu faktor penentu keberhasilan pembudidaya dalam menerapkan efisiensi produksi, adalah pemanfaatan pakan ikan. Di pasaran saat ini, harga pakan dari waktu terus mengalami kenaikan harga, terutama karena bahan baku pakan ikan sebagian besar diimpor dan itu menyebabkan harganya dipengaruhi nilai kurs mata uang Amerika Serikat.
“Pakan ini adalah penyusun harga produksi tertinggi, dan besarannya bisa mencapai 70 hingga 75 persen dari total ongkos produksi,” sebutnya.
Saat kondisi seperti itu muncul, Slamet mengatakan, maka cara yang paling aman adalah dengan segera menggunakan pakan mandiri sebagai pakan ikan. Tak hanya hemat dari pengeluaran, penggunaan pakan mandiri juga akan meningkatkan margin keuntungan dari usaha produksi lele. Yang lebih hebat lagi, kata dia, pakan mandiri kualitasnya tidak berbeda jauh dengan pakan yang diproduksi pabrik besar.
Dengan fakta tersebut, Slamet meminta para pengusaha di Indonesia untuk bisa memanfaatkan momen tersebut dan merumuskan strategi yang pas bagi para pelaku usaha untuk pemanfaatan pakan mandiri. Strategi yang dibangun, nantinya bisa digabungkan dengan kebijakan KKP yang sudah ada. Jika itu terjadi, maka produksi lele bisa ditingkatkan dengan biaya lebih murah dan ramah lingkungan.
“Saya optimis lele ini akan menjadi primadona bukan hanya di level domestik. Tapi juga dapat menguasai pangsa pasar ekspor utamanya ke Timur Tengah,” pungkasnya.


Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti didampingi Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto melihat lokasi percontohan untuk teknologi resirculating aquaculture system (RAS) di desa wisata Bokasen, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada awal Maret 2018. Foto : Foto: DJPB KKP/Mongabay Indonesia


Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) Imza Hermawan mengatakan tren permintaan komoditas lele saat ini terus meningkat. Sehingga terbuka peuang ekspor ke negara lain. Terutama, karena tingkat konsumsi lele sangat besar di masyarakat dan dunia.
Agar peluang ekspor itu bisa dimanfaatkan, Izma meminta para pembudidaya untuk memahami CBIB dengan baik dan mendapatkan sertifikatnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Cara itu, akan sangat berguna pada saat pelaku usaha melaksanakan ekspor lele ke negara lain. Dengan kata lain, jika ingin menembus pasar ekspor, maka CBIB wajib didapatkan.
“CBIB ini mutlak sebagai syarat menembus ekspor dan meningkatkan daya saing produk. Potensi industri lele ke depan sangat terbuka,” pungkasnya.

Sumber :
http://www.mongabay.co.id/2018/10/16/budidaya-lele-potensi-primadona-ekspor-indonesia-selanjutnya/

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-jenis Alat Tangkap Ikan Menurut Klasifikasi FAO

Cara Budidaya Ikan Papuyu

cara membuat kolam